Kyo Rizki Han

Kyo Rizki, Blogger Kuliner Indonesia, Mengulas Cerita Cara Memasak Resep Makanan Khas Indonesia.

Bonus Sunset



sunset




“Oke deal ya jam 2 siang kita ketemu di depan danau
“Sip, sampai jumpa. Sambungan terputus

    Pakaian oke, alat perang oke, bekal oke. Selesai mengemasi barang – barangn ke dalam Cariel sepertinya perut mulai menuntut hak nya untuk sarapan pagi. Bubur Ayam seberang rumah sepertinya enak, anak kos bosan juga tiap hari makan nasi gurih. 

    Setelah memastikan rumah dalam kondisi aman untuk ditinggalkan dalam waktu lama, lanjut kaki menuju kios di pinggir jalan seberang rumah, duduk dan menyuap bubur ayam dengan kentang wortel dadu, guntingan cakwe, kuah antara rasa soto dan gulai dan suiran ayam yang menjadikan bubur ini punya sebutan. Selesai mengakhiri teh manis hangat saatnya mencari angkot menuju terminal.

 45 menit ikut mutar – mutar di dalam angkot akhirnya terminal yang di tuju sampai. Di pinggir jalan sudah ada Jalias, Nazar dan Rika mereka sampai duluan ternyata, tumben tidak telat.
    “yang mana bus nya?” tanyaku sambil menyapa mereka
    “ itu lagi mutar.” Jelas Nazar.
    “ wee, pokoknya nanti pas busnya datang kita duluan ya we biar dapat tempat di dalam. Gak kelen tengok itu orang – orang banyak kek gini” ancang Rika
Maklum dia pemain baru, wajar saja jika menginginkan kenyamanan dalam perjalanan. Bus akhirnya perlahan memelankan laju dan berhenti tepat di depan kami. Tapi astaga, beringas penumpang lain terutama Inang – Inang menghimpit badan di pintu masuk. Masing – masing membooking tempat duduk di dalam dengan meletakkan tas mereka Encop dalam istilah kami. Meskipun Aku berhasil naik ke dalam ternyata bangku sudah terisi semua.
    “hayok hayok Dek, kalo mau naek atas aja.” Tawaran kenek
Kami saling senyum membayangkan akan ada keseruan di atas tapi tidak untuk Rika, bibirnya sudah manyun, air mukanya tak jernih lagi. Mau tak mau dia ikut kami di atas.
    “ loh Bang kok ditutup terpal kami?” Rika makin ngambek.
    “ bentar aja dek, di depan ada polisi, biar gak kenak razia kita” jawab kenek sekenanya sambil menutup terpal biru keseluruh penumpang yang naik di atas dan barang – barang. Bus pun mulai melaju semakin lama semakin mempercepat lajunya. Diiringi suara klakson yang meliuk – liuk, khas dari bus ini.
    “ hei kok tinggi kali barang di atas itu?” triak polisi dipinggir jalan
    “ ngangkut babi Pak” triak supir tak kalah keras.
Apa kami disamakan dengan hewan gendut pesek itu, sial. Padahal disini juga ada beberapa ekor ayam kampung. Aku geli dalam hati. Ah sudahlah. Akhirnya kenek itu membuka dan merapikan terpal penutup kami. Jadi tak perlu lagi menghemat napas karena bau yang campur aduk, tak lama kita sudah melewati Sibolangit yang terkenal dengan air Terjun Dua Warnanya. Tapi tunggu jam segini saat matahari sedang garang – garangnya menerpa. Kaos tangan panjang pun tak terlalu meredam panasnya. Alahmak.
***
    Mana nih anak wujudnya kok belum keliatan, mata mulai memasang CCTV memantau kesetiap sudut areal. Menoleh ke kanan dan boom. Beuh ini orang udah ada di sebelah aja.
    “ baru sampe?”
    “ ya sekitar 25 menit yang lalu lah, Cuma tadi Dzhur dulu di Mesjid depan, terus ngobrol sama kakek – kakek Marbut nya.”
    “ oh, oh ya kenalin ini Jalias, Nazar, dan si Imut Rika yang kayaknya masih Jet Lag”
    “ hai, aku Nandar kawannya Ragel” sapa Nandar sambil menyalami Jalias dan Nazar.
    “ kawan Ragel dari mana? Kok gak pernah tau setau kita kawan maenya Ragel ya cuma kita – kita ini. Maklum ni anak kan korban bully jadi pada minder kalo bekawan” Nazar mulai penasaran
    “ iya, kita aja mau bekawan sama dia karena dibayar. Jangan-jangan bayaran kau lebih besar ya “ lanjut Jalias gelak.
    “ ya kenal – kenal di IG, ikut kontes poto bareng. Dia  juara 2 aku juara 1. Jadi saling follow IG. Tau lah kelanjutannya gimana” Nandar menggaruk belakang kepalanya.
    “ is is Ragel mentang – mentang lagi Break sama em-emmannya udah sama yang lainnya aja.” Rika menimpali.
    “ gak yang seperti kalian pikirkan Guys. Ini kami lagi ikut kontes foto berikutnya tapi per team ” Kami lanjut memasang tenda dan makan siang dari bekal yang dibawa.
   
Danau sore ini sedang romantis – romantisnya alunan dahan membelai satu sama lainnya menari lembut. Mengalun  nada yang dikomandoi angin. Ah seperti tak ada masalah saja jika sudah sampai di sini. Lamat – lamat kupandangi air danau ini tenang namun sesekali menyeramkan. Tak ada ombak, burung sesekali menyentuh permukaan air dan naik dengan mulut mengangkup ikan. Nandar mulai asik memainkan kameranya.  Tujuan kami kemari beragam, Nandar ingin memotret sunrise di puncak, Jalias & Nazar ingin refreshing, aku ingin move on dan rika tumbal ku agar ada kawan perempuan. Gadis berjilbab dan berkaca mata ini sebenarnya tahan banting dan suka traveling, tapi masih suka moody

Langit mulai pekat senja ini, belakang langit sangat cengeng dan sering menangis tapi setelahnya panas melanda, Guntur sesekali menyilaukan urat kilatnya. Tapi beruntungnya jika sore ini hujan maka malam akan cerah penuh bintang. Dari sini kita bisa menikmati bintang jatuh untuk pengunjung yang tidak ingin mendaki ke puncak Ala ala drama Meteor Garden.
   
Semua bersiap- siap untuk mendaki. Jalias sebagai Ranger kali ini memberikan arahan sebelum memulai track, kita semua stretching dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sudah jadi kebiasaan sebelum memulai kita mengganti nama dengan sebutan angka, berdoa dan menyanyikan lagu kebangsaan, namanya juga bumi pertiwi, dan perjalananpun dimulai.
   
Jalias nomor 1, Aku kedua, Rika ketiga, Nandar keempat dan Nazar terakhir. Menurut mitos kalau hendak masuk hutan jangan panggil nama kawan dengan sebutan nama melainkan dengan angka. Konon Bunian bisa menirukan nama kita namun tidak pandai berhitung. Mungkin mereka tidak masuk kelas berhitung, untung tidak punya rencana pertukaran pelajar dengan bangsa Tuyul.
   
Sudah 3 jam kami berjalan, personil mulai lelah, kamipun istirahat sejenak menegguk bekal air minum. Suhu cukup dingin untuk membuat mulut mengeluarkan asap dan gigi menggerutuk. Hanya gelap lembab, iringan suara Trenggorek menjadi backsound malam ini. Bulan cukup memesona setidaknya sebagai cahaya pembantu headled yang tak terlalu terang.
    “gimana kawan – kawan masih kuat” triak Jalias memberi semangat
    “ masih “ jawab kami serentak
    “ oke ayo kita lanjut lagi di sebentar lagi nyampe, diatas ada warung bakso” lanjut jalias
   
Mendengar kata bakso rika yang mulai agak lemas kini kembali semangat, konyol memang tapi apapun bisa terjadi. Track pun dilanjutkan dan tibalah pada shelter yang dindingnya cadas nyaris 90O dan kami harus memanjatnya perlahan. Satu persatu mulai sampai di sisi bagian atas tebing, aneh kenapa rasanya tanah yang kuinjak bergetar ya ampun. Terdengar suara dahan pohon patah dan aku terjatuh, longsor, aku terpental beberapa meter terbawa batang pohon yang terseret. Tersuruk suruk hingga ketepian batu besar, susah payah menggapai pohon disekitar sia – sia semua ikut terseret. Kembali menggelinding hingga ke tersangkut tepian jurang. kakiku seakan patah tertimpa badan pohon. Dan semua yang kurasakan mulai pekat.
***
    Mataku mulai terbuka berharap bangun diatas tempat tidur nyaman, tapi kurasa semua omong kosong. Karena posisiku sangat tidak mengenakkan dengan betis terindi pohon. Nyeri sampai seluruh badan tersabet tumbuhan hutan yang tajam. Untungnya matahari sudah muncul, sial perburuan sunrise harus berakhir.
    “tolong … tolong …” dengan napas mulai pendek - pendek berusaha menarik kaki dari bawah tapi sia – sia aku meringis.
    “ Gel.. Ragel… “ ah itu suara mereka, mereka beberapa meter tak jauh di atas. aku mencoba membalas dan menunjukan arah posisiku yang menyatu dengan tanah yang landai dan pepohonan.
    “ Gel ya ampun kaki mu” Nandar mulai membersihkan dahan disekitar berusaha menarik keluar.

Bertiga laki – laki itu mulai menggeser pohon yang menimpa namun gerakan sedikit rasanya sakit sekali. Mereka pun mulai mencari perhitungan yang pas agar bisa mengangkat dahan pohon tanpa menambah retakan tulang betisku. Dan akhirnya berhasil.      Tapi mengenaskan sekali kondisiku betis membiru setengahnya ingin sekali kuambil sangkur yang ku ikatkan di pinggang lalu memotong kakiku toh sampai rumah sakit akan diamputasi juga. Nandar menaikkan tubuhku di punggungnya kami pun perlahan naik ke dataran yang lebih tinggi dan pulang tanpa hasil. Rika mulai menangis meratapi nasibku Jalias dan Nazar berusaha stay cool dan waspada kalau-kalau longsor datang lagi.
    “ndar… “
    “ iya…”
    “ sunrise gimana? Kita gak jadi ikutan lomba foto itu. Jauh – jauh kemari malah gak nyampe puncak” omel ku.
    “Mau nyampe puncak tapi nyawanya gak pulang?”
    “ tapi kan dikit lagi kita sampai, mending ngendong aku ke atas” sepertinya permintaan ditolak. Kita semakin jauh turun ke bawah.
    “ kau tau apa tujuan sebenarnya mendaki gunung?” aku ingin menjawab tapi membiarkan dia melanjutkan pertanyaanya.
    “ mendaki itu bukan tentang ajang trend, pamer di sosmed,tapi bisa menikmati dan mensyukuri ciptaaNya dan yang penting tujuan pendaki adalah bukan puncak, karena puncak adalah bonus, sunrise juga bonus. Ada kok yang jauh – jauh sampai puncak tapi gak dapet ngeliat matahari karena mendung.”
    “so”
    “tujuannya, bisa naik dan turun dengan anggota yang lengkap dan selamat.” Aku tersenyum. Kami tiba di camping ground pendaki – pendaki lain mulai melihat ke arahku dan menawarkan bantuan mengobati kakiku dengan minyak Karo. Petani yang hendak ke kota sore nanti menawarkan tumpangan mengangkut kami di belakang pick up nya. Kami pun bersistirahat merebahkan badan di atas rumput yang masih disisai embun, berusaha menetralisir dari kejadian mencekam tadi. Muncul ide memotret sun set dari atas pick up saat pulang nanti. “Ini namanya tak ada sunrise, sunset pun jadi” mataku mulai terpejam.

sunset


Posting Komentar

0 Komentar