"Kak, mengapa Masyarakat Melayu kebanyakan berprofesi sebagai nelayan? Atau kebanyakan nelayan kebanyakan ya orang Melayu?" kami memulai obrolan sambil berjalan menuju lokasi Gudang Nelayan di Desa Pantai Cermin Kanan Kabupaten Serdang Bedagai.
Sambil tersenyum dan berfikir sejenak kawan saya coba menjawab lebih kepada berasumsi secara karakteristik orang Melayu tidak menyukai pekerjaan yang berproses lama seperti Bertani atau berkebun, lebih menyenangi penghasilan yang dapat pada hari itu.
tidak perlu berproses atau menunggu seperti petani yang berbulan-bulan menanam baru bisa dipanen hasilnya. Kalau nelayan kan sore melaut pagi pulang membawa ikan langsung bisa dijual ketengkulak uang diterima untuk makan keluarga. Tuturnya.
Sebuah stereotip yang masuk akal memang, walaupun profesi nelayan tidak serta merta seinstan pergi sore pulang pagi dapat hasil. Bertarung dengan cuaca di lautan menjadi resiko taruhan nyawa apalagi kondisi perahu yang seadanya.
Sesampai di Gudang Nelayan terlihat bangkai perahu berjejer mangkrak tidak bisa dioperasikan. Satu dua ada yang masih bisa diperbaiki sedang dipoles nelayan agar nampak elok.
Hasil tangkapan mereka berupa gurita, kepiting rajungan dan ikan kembung langsung dijual ke toke yang nantinya didistribusi ke pasar-pasar dan rumah makan. Dipinggiran pantai saat air surut sebagianm mencari Bare atau sejenis kerang.
"Kak, kalau kondisnya seperti ini bagaimana nelayan kita bisa sejahterah?" sembari melihat sekeliling dengan tantangan yang memang kompleks. Beberapa literatur menyebutkan bahwa nelayan merupakan suatu kelompok masyarakat yang tergolong miskin (Mubyarto, 1986; Kusnadi, 2002). Jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan (terutama buruh nelayan dan nelayan tradisional) dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin meskipun tidak semua.
Memanfaatkan tanaman pandan duri yang tumbuh di pesisir
Selain tanaman bakau berbagai varietas yang tumbuh di sepanjang pesisir Pantai Cermin, tanaman pandan duri Pandanus tectorius juga mendominasi dan berlimpah. Sejak zaman nenek moyang terdahulu telah memanfaat pandan menjadi tikar hingga muncul anggapan tak ada Perempuan Melayu yang tak pandai menganyam tikar. Bahkan menganyam menjadi salah satu syarat seorang perempuan dikatakan layak untuk menikah karena nantinya tikar yang Ia anyam dipakai ke rumah barunya. Semakin perkembangan jaman mitos tersebut kian pudar.
Eva Harlia kembali Menilik peluang tikar anyaman dari pandan sebagai sumber penghasilan tambahan keluarga yang potensial. Toh setiap Perempuan di desa ini lihai mengayam terutama kaum ibu usia 50 tahun keatas. Semula mengayam satu lembar tikar hanya diupah seharga satu kilogram beras dengan proses pengerjaan memakan waktu hingga dua hari. Lambat laun setelah dikaji kembali perihal upah yang sesuai dengan beban kerja menganyam, kini seorang pekerja mampu mengantongi Rp. 2.500.000 – Rp. 3.000.000 dalam sebulan. Melihat nominal yang sepadan, satu lembar tikar yang tadinya diselesaikan dalam 2 hari kini bisa selesai dalam sehari dengan sistem borongan upah perlembar Rp.100.000.
Melihat semangat ibu – ibu di desanya Eva mulai mengembangkan usaha ayaman tikar pandan agar lebih banyak peminat kerajinan anyaman pandan usahanya. Koleksinya bisa dilihat di akun Instagram @mendaygalleryandsouvenir “kalau mau maju harus mau capek bergerak, apalagi menyatukan banyak kepala bukanlah perkara gampang” tuturnya pada kami. Kolaborasi mulai berdatangan bantuan dana dari BUMN dan mendaftar sebagai penerima program CSR satu Indonesia Kampung Berseri ASTRA serta mengikuti pameran UMKM berbagai kota hingga pulau Jawa.
Apakah Anyaman Pandan Tidak Begitu Menarik ?
Pasti ada segelintir orang yang tidak suka durian karena aroma dan rasanya, namun ada juga yang menjadi penyuka durian. Sama halnya dengan kerajinan anyaman pandan tidak bisa memaksa semua orang menyukainya justru anyaman pandan memilih siapa yang pantas menjadi takdirnya daiantaranya yaitu pelanggan dari negara- negara lain pemburu barang-barang Artsy dan ramah lingkungan. Tak ketinggalan pihak pengusahan kuliner memesan kantongan anyaman pandan sebagai kemasan makanan pengganti plastik.
Tikar pandan dengan perawatan dan penyimpanan yang baik akan tahan lebih dari 2 tahun. Perawatannya cukup lap dengan kain pada noda yang kotor jika basah anginkan dibawah matahari tidak langsung.
Mengandalkan keahlian story telling Eva memperkenalkan beragam filosofi corak yang ada pada tikar menjadi daya Tarik. Untuk souvenir dibandrol mulai Rp. 2.500 hingga Rp.50.000. sedangkan tas mulai harga Rp 50.000 hingga Rp 150.000.
Masyarakat
yang berkecimpung sebagai pengerajin di Desa Pantai Cermin Kanan berjumlah 75
orang terbagi atas 5 orang sebagai tim marketing dan desain dipercayakan pada
remaja-dewasa dan 70 orang pengayam yang mayoritas ibu-ibu.
Kalau ditotal dari 4 Desa yang menjadi produsen anyaman pandan seperti Desa Pantai Cermin Kanan, Desa Pantai Cermin Kiri, Desa Kuala Lama dan Desa Kota Pari terdapat 350 orang dengan pemetaan pekerjaan masing – masing mulai dengan mencari pandan, pandan yang berkualitas baik yakni pandan yang tumbuh di pesisir Pantai tapi untuk mencukupi permintaan mulai dibudidayakan.
Dari hulu ke hilir hingga menjadi produk anyaman memebutuhkan proses Panjang. Selepas pengepulan pandan, pandan harus dipotong duri nya lalu diiris menjadi 8-16 irisan dengan pisau atau nilon, irisan pandan dijemur selama 2-3 hari untuk kemudian irisan pandan di besut/serut dengan kayu agar lurus. Untuk memberi motif pada tikar pandan sebagian pandan diberi warna dan dijemur kembali kini helaian pandan siap dianyam. Proses yang memakan waktu cukup Panjang juga sentukan tangan-tangan dingin pengerajin layaklah membawa anyaman pandan ke kanca internasional.
Perlahan Tapi Pasti, Masalah Desa Mulai Teratasi
Perempuan – Perempuan di Desa Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai mulai memberdayakan dirinya tanpa meninggalakan peran penting dalam keluarga. Sadar pentingnya pengelolaan finansial terutama untuk dana pendidikan anak yang dulunya hanya mampu menyekolahkan hingga SMA kini sudah banyak menjadi sarjana.
Sebenarnya saya sedikit dilanda trust issue jika perempuan-perempuan sudah mandiri finansial justru kaum bapak-bapak kepala rumah tangga malah malas melaut dengan alasan perahu rusak, tidak ada modal beli bahan bakar, atau lain sebagainya maka akan muncul masalah sosial baru.
Lewat program Satu Indonesia Kampung Berseri Astra semoga segera dipertemukan dengan sosok penggerak KBA selanjutnya yang bisa menyelesaikan problematika nelayan dan tengkulak agar lebih terjamin penghidupannya.
Kampung Berseri Astra merupakan program Kontribusi Sosial Berkelanjutan Astra yang diimplementasikan kepada masyarakat dengan konsep pengembangan yang mengintegrasikan 4 pilar program yaitu Pendidikan, Kewirausahaan, Lingkungan dan Kesehatan
Melalui program Kampung Berseri Astra ini masyarakat dan perusahaan dapat berkolaborasi untuk bersama mewujudkan wilayah yang bersih, sehat, cerdas dan produktif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat di wilayah Kampung Berseri Astra.
Mengunjungi Kampung Berseri Astra di Desa Pantai Cemin Barat Kabupaten Deliserdang membuka mata kami bahwa setiap manusia punya hak kesempatan untuk maju dan memeliki Impian masa depan yang sejahtera serta bermanfaat bagi sesama manusia semesta alam.
Sumber :
Mubyarto, 1986, Nelayan dan Kemiskinan Studi Ekonomi di Dua Pantai, CV Rajawali Press,
Jakarta.
Kusnadi, 2002. Akar Kemiskinan Nelayan. LKIS . Yogyakarta
(Dalam skripsi Kemiskinan & Nelayan Tradisional Di Kecamatan Medan Belawan Kota Medan
Oleh Sarah Dina, Graduate Student, Economic Department, State University Of Medan )
Ramadhan, 2023. https://wartakota.tribunnews.com/2023/06/17/kerajinan-anyaman-pandan-di-desa-pantai-cermin-kanan-sudah-sampai-ke-luar-negeri?page=all
1 Komentar
Seriusan ini nulisnya pake hape? Sepanjangang ini! 👏👏
BalasHapus